Selasa, 17 Agustus 2010

Tinia dan Bukti Sejarah Kota Tarakan

Keberadaan bukti sejarah Kota Tarakan di Pulau Tarakan harus dipertahankan agar kota tersebut tidak kehilangan identitasnya. Demikian dikemukakan Tini Budiati dalam sidang promosi doktornya di bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arkeologi di Universitas Indonesia, Selasa (20/7/2010) di Depok.

Pemerintah dan masyarakat Kota Tarakan memiliki tanggung jawab bersama mengangkat nilai tersebut.
-- Tinia Budiati


Untuk disertasinya itu, Tinia Budiati didampingi promotornya, Prof Dr Nurhadi Magetsari, dan Ko-Promotor Dr Wiwin Djuwita Ramelan, yang melakukan penelitian mendalam tentang Perkembangan Kota Tarakan: Sebuah Kajian Arkeologi Sejarah bagi Manajemen Sumber Daya Manusia .

Dikatakannya, situs dan monumen yang tersebar di kota berpenduduk 178.111 jiwa itu sangat diperlukan untuk menentukan identitas kota tersebut, Untuk itu, diperlukan manajemen kota yang memperhatikan situs tersebut sebagai identitas sebuah kota pertambangan minyak bumi terbesar di Indonesia atau yang di zaman dahulu dikenal dengan Hindia-Belanda.

Manajemen warisan budaya yang akan diterapkan pada situs Tarakan perlu memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan cagar budaya, mengangkat karakter kota, skala prioritas dalam penanganan situs, pengembangan cagar budaya, serta prinsip keseimbangan antara pengembangan cagar budaya yang beradaptasi dan bermanfaat untuk pembangunan modern.

Menurut Tinia, harus ada nilai sejarah dari Kota Tarakan yang dapat diangkat sebagai kebanggaan daerahnya. Nilai-nilai positif yang dikandung Tarakan akan mengangkat harga diri kota, yang pada akhirnya menggugah rasa nasionalisme.

"Pemerintah dan masyarakat Kota Tarakan memiliki tanggung jawab bersama mengangkat nilai tersebut. Karena sebagai pihak yang paling berperan memperkenalkan dan memantapkan peninggalan sejarah yang akan dijadikan cagar budaya, pemerintah dituntut kreatif memikirkan langkah-langkah pengembangan warisan budayanya," katanya.

Dalam penelitian Tinia membuktikan, Kota Tarakan mengalami empat fase dalam perjalanan sejarahnya, yaitu fase awal (1603-1896), fase tambang minyak bumi (1896-1942), fase tambang minyak dengan kedudukan Asisten Residen (1935-1945), dan fase Tarakan pada masa tambang minyak dengan basis pertahana n (1929-1945).

Keempat fase itu, kata Tinia, merupakan satu kesatuan masa yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga, lanjut dia, konsep perkembangan Kota Tarakan dengan periodesasi yang telah ditetapkan itu dijadikan tema utama dan acuan untuk semua aktivitas pengembangan peninggaran bersejarah di Tarakan.

Keberadaan situs dan bangunan di Tarakan, jelas Tinia, terkonsentrasi pada beberapa wilayah, yakni kawasan Juata Laut, kawasan Tarakan kota, kawasan Karungan, dan kawasan Pantai Amal. Guna membantu wisatawan memahami perkembangan sejarah Kota Tarakan, maka harus dibuat jalur-jalur wisata sejarah.

Sebagai tahap awal pengembangan dibuat empat paket wisata sejarah, yaitu produksi tambang minyak, pertahanan, perkembangan pemukiman, dan paket wisata penduduk pribumi dengan penduduk asli suku Tidung.

"Selama setengah abad terakhir, suku Tidung telah bercampur dengan Bajau dan Bugis. Kemudian jalur-jalur wisata ini dapat dikembangkan lagi untuk situs-situs lainnya," jelas Tinia.

Dalam sidang akademik yang dipimpin Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Dr Bambang Bibawarta, dan penguji Dr Irmawati M Johan, Dr Supratikno Rahardjo, Dr Kresno Yulianto, dan Dr Erwiza Erman, yudisium Tinia dinyatakan sangat memuaskan.



Sumber :
Yurnaldi
http://edukasi.kompas.com/read/2010/07/20/17164522/Tinia.dan.Bukti.Sejarah.Kota.Tarakan
20 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar